Tulisan ini adalah seri terakhir dari 3 bagian Paradoks. Bagian pertama bisa Anda baca di sini dan bagian kedua bisa Anda baca di sini.
Dan hal ketiga, yang kontradiktif antara perspektif manusia dengan Al Qur’an adalah konsepsi tentang persaudaraan, ukhuwah. Ketika Allah berfirman:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Diterjemahkan menjadi, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. Terjemahan tersebut tidak salah, hanya kurang tepat.
Ayat di atas mengandung kata إِنَّمَا (innamaa) yang oleh beberapa ulama disebut berfungsi sebagai adatul hashr (alat untuk membatasi makna). Maka terjemah yang lebih pas dengan menerapkan adatul hashr pada ayat di atas adalah, “HANYA orang-orang yang beriman SAJA yang bersaudara.”
Ibnu Hajar Al Haitami dalam Al Fathul Mubin menyebutkan bahwa fungsi innamaa adalah untuk menegaskan pengertian kalimat sesudahnya dan menafikan selainnya. Maka, sekali lagi, jika definisi ini di terapkan pada ayat di atas maka maknanya adalah “Hanya orang-orang beriman saja yang bersaudara, dan tidak ada persaudaraan selain atas dasar iman.”
Ini sebuah paradoks. Karena selama ini kita menganggap bahwa persaudaraan itu atas dasar hubungan darah. Yang memiliki kaitan waris mewarisi itulah saudara. Atau karena pernikahan, persahabatan atau korps organisasi. Padahal, ikatan-ikatan itu, jika tanpa ada iman yang mengantarainya, maka berpotensi menjadi musabab permusuhan dan penyesalan.
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (QS. At-Taghobun: 14)
Jika anak dan istri, yang sehari-hari bersama dengan kita. Darah dagingnya berasal dari kita saja berpotensi menjadi musuh, lalu bagaimana dengan yang sekdar teman ngobrol dan teman kerja?
Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. (QS. Az-Zukhruf: 67)
Tulisan ini tak bertujuan agar kita memalingkan muka dari istri, anak, kerabat dan teman karib kita. Bukan! Sebaliknya, kita menginginkan bahwa keluarga besar kita berkumpul di surganya Allah. Kita rindu teman-teman karib kita untuk saling bercengkerama di atas dipan-dipan emas di surga. Dan satu-satunya cara untuk mewujudkan itu semua, adalah merekatkan dan mengabadikan ukhuwah itu dengan taqwa.
Leave a Reply