Ilusi Kecepatan


Jika seseorang menuju ke suatu tempat dengan jarak 10 km, maka ketika ia melaju (anggap saja dengan motor) dengan kecepatan 10 km/jam, maka ia akan tiba di tujuan dalam waktu 60 menit. Jika ia menambah kecepatan menjadi 20 km/jam, ia akan tiba dalam waktu 30 menit. Ia menghemat waktu sebanyak 30 menit.

Jika 30 km/jam, waktu tempuhnya 20 menit, menghemat 10 menit.
Jika 40 km/jam, waktu tempuhnya 15 menit, menghemat 5 menit.
Jika 50 km/jam, waktu tempuhnya 12 menit, menghemat 3 menit.
Jika 60 km/jam, waktu tempuhnya 10 menit, menghemat 2 menit.

Jika 100 km/jam, waktu tempuhnya 6 menit.
Jika 110 km/jam, waktu tempuhnya 5,5 menit, hanya menghemat 30 DETIK!

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa bertambahnya kecepatan akan membuat kita semakin cepat sampai di tempat tujuan. Akan tetapi yang yang perlu menjadi catatan, bahwa semakin bertambah kecepatan, semakin rendah efisiensi, di saat yang sama juga menambah besaran risiko. Bahkan dalam kadar tertentu, risiko yang dihasilkan mustahil untuk dimitigasi. Padahal selama ini kita telah terdoktrin, lebih cepat lebih baik.

Dalam dunia nyata, bahkan tak semua yang cepat atau lebih cepat itu lebih baik. Lembaga pendidikan misalnya, bertambahnya cabang yang dikonotasikan sebagai kecepatan pertumbuhan adalah sesuatu yang tidak relevan. Lembaga pendidikan tidak dikenai kewajiban untuk bertumbuh secara kuantitas, tapi lebih pada berkembang secara kualitas. Semakin mumpuni pada core competence-nya. Itulah mengapa Al Azhar, Oxford, Stanford atau pun Harvand tidak ada cabangnya.

Bahkan dalam dunia transportasi yang identik dengan kecepatan, ada moda transportasi yang didesain untuk lambat, karena lambat dianggap lebih baik. Kereta Api di Swiss misalnya. Karena orang naik kereta “lambat” di Swiss salah satu keunggulannya adalah untuk menikmati suasana pegunungan Alpen. So nikmati perjalanan.

Dan dalam urusan ranjang, semua saya yakin sepakat. Lebih lambat lebih baik. Lebih lama lebih memuaskan.

Dalam konteks organisasi, ada kalanya kita harus tahu kapan untuk melambat. Karena sekali lagi, tancap gas bisa jadi berbahaya. Ada kalanya kita harus berfokus pada berkembang. Memperbaiki kualitas, men-streamline-kan proses dam menetapkan standar baku.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *