,

Ayah


Marilah kita mentadabburi pesan yang Allah sampaikan dalam Al Qur’an Surah Yusuf ayat 24, ketika Dia berfirman,

“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.”

Dan marilah kita bayangkan keadaan Yusuf, seorang pemuda normal, digoda oleh seorang perempuan cantik, kaya lagi berkuasa. Perempuan itu berkehendak kepada Yusuf dan Yusuf pun sebenarnya berkendak kepada perempuan itu. Sekiranya Yusuf tidak melihat burhaana Robbih, tanda dari Tuhannya, niscaya akan terjadi kenistaan itu. Lalu apakah burhaana Robbih itu, yang membuat seorang pemuda itu mampu menolak diperbudak syahwatnya?

Ada banyak tafsir tentang makna burhaana Robbih. Akan tetapi penulis mengutip tafsir dari Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan burhaana Robbih itu adalah bayangan dari Ayahanda tercinta, Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam.

Ya Rohmaan! Yusuf berpisah dengan ayahnya semenjak kecil, tapi bayangan ayahnya lah yang menyelamatkan dia dari sebuah kemaksiyatan. Betapa luar biasanya Sang Ayah.

Masa yang singkat kebersamaan Yusuf dan Ayahanda bukanlah masa ideal untuk sebuah pengajaran. Tapi sesingkat apapun kebersamaan, jika yang dinampakkan adalah sebuah keteladanan, maka ia akan menghunjam dan mengakar selamanya. Bukankah sering kita mengeluhkan kenakalan anak kita dengan mengatakan “Saya tidak pernah mengajarkannya!” Iya, memang kita tak mengajarkannya tapi tanpa sadar kita meneladankannya. Jika kita menginginkan kebaikan-kebaikan pada anak kita, maka mulailah dengan menumbuhkan kebaikan itu pada ayahnya terlebih dahulu.

Itulah sebabnya intensitas dan kualitas kebersamaan ayak dan anak sangat menentukan karakternya di masa depan. Al Qur’an menyiratkannya dalam sebuah keadaan bahwa percakapan antara anak dan dan orang tua yang dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an didominasi percakapan antara ayah dan anak, bukan ibu dengan anak. Padahal jika mengamati faktanya, yang paling mungkin dan paling sering bercakap-cakap dengan seorang anak adalah ibunya. Sedikit tapi berkesan. Demikianlah mestinya peran seorang ayah. Dia memiliki quality time dengan anak-anaknya.

Quality time itu bukan (sekedar) berlibur di akhir pekan. Bukan menginap di hotel. Bukan makan di restoran. Bukan. Quality time itu adalah menanamkan keteladanan. Quality time itu bercakap-cakap. Apa gunanya berlibur di tempat mahal, kalau masing-masing sibuk dengan berfoto dan mengambil video.

Sesekali, berilah anak-anak kita selembar kertas dan pena. Mintalah ia menulis kesan yang ia ingat dari ayahnya. Jika matanya kosong menatap langit-langit. Tak ada sepatah kata di atas kertas itu. Bermuhasabahlah kita sebagai ayah. Jangan-jangan kita memang tak pernah hadir dalam hidupnya.


Previous

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *