Paradoks (1/3)


Ketika Allah berfirman:

Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. (QS. Al-Qolam: 2)

Allah menunjukkan kepada kita, bahwa untuk definisi “gila” saja, wahyu dan sebagian manusia berbeda dalam skala 180 derajat. Manusia (Quraisy) berasumsi bahwa karena wahyu-lah Muhammad menjadi gila. Hilang akal dan buruk perangainya. Akan tetapi dalam pandangan Allah, Muhammad dengan nikmat wahyu (Al Qur’an), sekali-kali bukanlah orang gila, sebaliknya ia berada di puncak keluhuran akhlaq (Lihat Al-Qolam: 4).

Perbedaan sudut pandang seperti ini adalah perbedaan kontradiktif. Kutub ke kutub yang mustahil dipertemukan. Artinya, sesiapa saja yang berdiri di atasnya, mustahil membenarkan yang berseberangan dengannya. Mungkin lisannya mengatakan sama, tapi tidak dengan keyakinannya.

Dan dalam Al Qur’an ada beberapa perbedaan kontradiktif serupa dengan hal di atas. Salah satunya adalah kehidupan dan kematian.

Sebagian manusia meyakini bahwa mati adalah akhir dari segalanya. Dan bagi orang-orang yang hidupnya “berbahagia”, maka kematian adalah momok yang sebisa mungkin dihindari. Dunia kedokteran terus berinovasi agar kemudaan dan kehidupan kekal mengabadi, atau setidaknya bertahan lebih lama dan lebih lama lagi.

Bukan itu saja, berbagai instrumen yang mendatangkan “kebahagiaan”, sekuat tenaga diupayakan untuk tak berkurang apalagi sirna. Kekayaannya jangan sampai berkurang. Kekuasaannya jangan sampai melemah. Ia menyangka kaya dan kuasa akan mengekalkan hidupnya.(Lihat QS. Al-Humazah: 2-3).

Tapi faktanya. Tak ada orang paling kaya di dunia yang usianya menyentuh 100 tahun atau bahkan 90 tahun. Orang-orang yang paling berkuasa sekalipun juga demikian. Semuanya mati. Harta tak dibawa, kuasa pun hilang tanpa sisa.

Seandainya para pecinta hidup itu mengetahui bahwa dalam Islam ada cara agar hidup mengekal selamanya, maka bisa jadi mereka akan menempuhinya. Sayangnya begitu disebutkan caranya, seketika mereka akan berbalik badan. Cara paradoksal yang tidak mereka sangka.

Bagaimana caranya agar manusia bisa hidup abadi?

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al-Baqoroh: 154)

Bagaimana bukan paradoks, karena ternyata cara untuk bisa hidup abadi adalah dengan mati, mati di jalan Allah! Padahal mati inilah yang selama ini mereka hindari.

Manusia dan Al-Qur’an telah menghadirkan kontradiksi. Sudut pandang berseberangan kutub ke kutub. Pertanyaannya, dimana kah posisi kita? Berada dalam tuntunan Allan (Al-Qolam) atau dalam asumsi dan praduga kebanyakan manusia (wa maa yasturuun)?

Lisan mudah menjawabnya. Tapi dengarlah hati kita, karena bisikannya itulah yang menegaskan posisi kita yang sebenarnya.


2 responses to “Paradoks (1/3)”

  1. Yusuf Avatar
    Yusuf

    Izin Copas Ust

    1. Samsul Arifin Avatar
      Samsul Arifin

      Silakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *