Di dunia kuliner ada yang namanya Michellin Star. Pemeringkatan restoran yang dilakukan dengan standar penjurian yang sangat tinggi dan ketat. Beberapa kritikus kuliner akan dikirim secara acak oleh Michellin untuk melakukan penilaian dengan standar yang telah mereka tetapkan.
Sebagai informasi bahwa restoran yang dapat “satu bintang” Michellin artinya restoran tersebut berkategori istimewa, baik dalam makanan, pelayanan dan lain sebagainya.
Sedangkan yang mendapat “dua bintang” artinya wajib disinggahi. Kalau misalnya di Manado ada orang Jakarta yang sedang liburan, maka restoran dengan dua bintang ini wajib disinggahi. Rugi kalau datang jauh-jauh tapi tak singgah.
Dan puncaknya adakah “bintang tiga”, artinya restoran ini layak jadi tujuan perjalanan, bukan sekadar persinggahan. Ada orang Surabaya yang ke Manado yang tujuannya makan di resto tersebut saja. Habis makan balik ke Surabaya. Dan itu layak. Bisa dibayangkan oleh kita bagaimana levelnya.
Seenak apakah resto yang mendapat bintang Michellin tersebut? Tidak adakah resto non-Michellin yang rasanya setara dengan resto Michellin? Jawabnya ada. Atau bahkan banyak yang lebih enak. Lalu mengapa yang satu dapat bintang yang lain tidak? Pembedanya adalah konsistensi.
Ada banyak resto yang makanannya enak, tapi tidak konsisten. Kadang terlalu manis, kadang terlalu asin. Kadang terlalu masak, kadang masih mentah. Istilah “ente kadang-kadang” tidak ditolerir oleh Michellin.
Sebuah Warung Ramen pinggir jalan di Jepang (yang mendapat bintang satu Michellin) melakukan quality control mulai dari bahan tepung pembuat mie ramen, tulang yang dipakai untuk membuat kaldu, daging yang dipakai buat topping hingga SOP penyajian. Mereka menjamin konsistensi rasa ramen yang mereka sajikan di awal buka hingga warung tutup sama kualitasnya. Bukan rahasia lagi, bahwa mie ramen yang dibuat menjelang warung tutup biasanya rasanya tidak lagi enak, karena kuah kaldu sudah berjam-jam dipanaskan dan itu mempengaruhi rasa. Konsistensi istimewa, tak pernah sederhana.
Berkaca dari itu, keistimewaan dan exellency pada seorang manusia, sebuah perusahaan, sekolah atau organisasi bukan karena ia bisa memproduksi sesuatu yang istimewa (saja). Tetapi ia atau mereka harus bisa menghasilkan produk istimewa secara konsisten. Tanpa konsistensi, maka ia masih berada di posisi rata-rata.
Ada ungkapan, “Al-istiqomah khoirun min alfi karomah.” Konsistensi, keajegan itu lebih hebat dibanding seribu keajaiban. Keajaiban itu hebat, tapi tidak bisa dicontoh, sifatnya cuma sesekali, kadang malah tidak bisa diulang oleh pemiliknya sendiri. Tapi konsistensi dan kaejegan itu berpijak pada ilmu, niat, kendali diri, dan kedisiplinan.
Leave a Reply